Raja dan Ratu Belanda Didesak Minta Maaf dan Kembalikan Benda-benda Pusaka Batak
12 Maret 2020 - 19:32:45 WIB | Dibaca: 3254x
Toba (SIOGE) - Kedatangan Raja dan Ratu Belanda ke Kawasan Danau Toba (KDT) hari ini, Kamis (12/3/2020) menurut Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tano Batak, mestinya tidak hanya berkaitan dengan investasi, namun juga disertai itikad baik terkait sejarah masa lalu. Bukan bermaksud mengungkit-ungkit masa lalu, namun momentum ini sangat tepat untuk menyatakan permintaan maaf atas sejarah masa lalu. Demikian dikatakan Ketua AMAN Tano Batak, Roganda Simanjuntak dalam siaran persnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Kamis (12/3/2020).
"Bukan soal berapa lamanya penjajahan yang telah terjadi di nusantara, yang pasti penjajahan itu ada, dan sampai hari ini meninggalkan luka bagi masyarakat di seluruh nusantara, terutama bagi masyarakat adat di Tano Batak. Sejarah panjang yang telah dilalui oleh masyarakat adat Batak Toba membuktikan, begitu banyak persoalan yang telah dialami menyangkut hak hidup sebagai masyarakat adat. Terutama ketika hadirnya penjajahan yang dilakukan oleh Belanda kepada masyarakat adat Batak Toba," jelas Roganda.
Memori sejarah ini, sambung Roganda, masih membekas di ingatan masyarakat adat, karena meninggalkan berbagai persoalan yang sampai hari ini, masih dialami oleh masyarakat adat di Kawasan Danau Toba. Secara indonesia sudah merdeka, namun tidak membuat masyarakat adat merasa merdeka, karena realitasnya berbagai persoalan yang saat ini terjadi, tidak lepas dari penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Dikatakannya, perampasan wilayah adat masyarakat Batak Toba sudah dimulai oleh Belanda ketika penerapan hutan register di awal abad ke-20. Dalih ini menjadi klaim hutan negara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka. Akan tetapi, inilah yang menjadi akar permasalah konflik agraria di seluruh nusantara, terutama di Tano Batak, karena menyangkut hak atas tanah, yang menjadi identitas bagi masyarakat adat Batak Toba.
"Belanda meninggalkan warisan konflik bagi masyarakat adat, yang sampai hari ini masih terus terjadi. Perlawanan masyarakat Batak pada masa penjajahan, mengharuskan Belanda melakukan penghancuran pemerintahan-pemerintahan adat, dengan cara menggantikan posisi Raja Bius dengan kepala nagari atau yang kita kenal dengan istilah sekarang kepala desa. Dengan cara ini kepala nagari akan tunduk pada Belanda dan eksistensi dari Raja Bius lama kelamaan hilang. Berdampak pada kaburnya pemerintahan adat (lembaga adat) yang berfungsi mengatur jalannya hukum adat terkait kehidupan sosial dan pengelolaan sumber daya alam bagi masyarakat adat Batak Toba.
"Selain itu, perampasan benda-benda pusaka Batak Toba yang dilakukan Belanda, berdampak pada jati diri masyarakat adat Batak Toba, mengakibatkan pemahaman terkait identitas budaya yang terdahulu itu menjadi hilang," ungkap Roganda.
Berikut pernyataan sikap AMAN Tano Batak terkait kedatangan Raja dan Ratu Belanda itu.
1. Raja Belanda harus meminta maaf kepada masyarakat adat Batak Toba, atas sejarah kelam yang dilakukan oleh Belanda
2. Raja Belanda harus mengembalikan benda-benda pusaka, milik masyarakat adat Batak Toba
3. Pemerintah Belanda harus bertanggung jawab dalam pengembalian hutan-hutan adat, yang saat ini di klaim sebagai hutan negara, kepada masyarakat adat Batak Toba.
4. Pemerintah Belanda harus melakukan ganti rugi, situs sejarah yang hancur akibat perang. (mbis)