
Menekuni Kesenian Begalan Banyumas Sebagai Penghormatan Kepada Guru dan Upaya Meluruskan Sejarah
19 September 2020 - 11:11:01 WIB | Dibaca: 3270x
Banyumas (SIOGE) - Menekuni kesenian memang harus di mulai dari niat, ketulusan, dan sesuai dengan ilmu yang didapatkan dari sang guru dalam menjalaninya. Kesenian begalan Banyumas sebagai tradisi yang sangat penting dalam prosesi pernikahan orang Jawa terutama bagi masyarakat Banyumas khususnya. Ibarat memasak tanpa garam, kesenian ini memang mempunyai nilai yang berisi wejangan atau petuah dari para sesepuh yang ditujukan untuk kedua pengantin yang akan mengarungi bahtera rumah tangganya.
Wartawan Sioge mendapat sambutan hangat dari Eyang Wasdan (72), sapaan akrab dikalangan pelaku kesenian begalan Banyumas saat ditemui di kediamannya di Desa Kedung Randu Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas, Jumat, (18-09-2020) lalu. Lelaki sepuh ini dengan senang hati menceritakan awal mula menekuni kesenian begalan Banyumas semenjak tahun 1985. "Inyong nglakoni begalan kawit gemiyen taun 1985, nggih paling tertua kulo se-Banyumas, soale apa, siki begalan pirang-pirang tapi begalane begalan modern, dadi istilahe kur nggo hiburan tok, ning nek inyong esih tetep madep mantep njiot pakem-pakem klasik" ujarnya dengan dialek Banyumas. (artinya : saya menekuni seni begalan dari dulu tahun 1985, yang paling tertua se-banyumas ya saya, karena sekarang pelaku seni begalan banyak sekali tetapi begalannya begalan modern, jadi istilahnya hanya untuk hiburan saja, kalau saya masih tetap mengambil pakem-pakem klasik)
Menurut Eyang Wasdan, pelaku seni begalan sekarang sudah banyak, tetapi ketika ditanya mengenai asal usul seni begalan kebanyakan tidak ada yang tahu dan hanya meniru-niru saja. Dirinya juga dahulu mempunyai seorang guru yang mengajari sejarah begalan sampai dengan prosesi begalan itu sendiri. "Saya jadi tukang begalan tidak seenaknya sendiri, saya juga punya guru, yang bisa menceritakan asal mulanya begalan dari abad 17 zaman sebelum bupati, tetapi masih adipati yang ke 14 Raden Cokronegoro yang besanan dengan Adipati Wirasaba," tuturnya Eyang Wasdan sambil memegang rokok lintingnya.
Dalam tradisi begalan, ada juga ruwatan untuk kedua pengantin. Ruwat dalam artian membuang ancaman dan marabahaya. Yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dengan dibekali ajaran etika moral yang terungkap dalam upacara ruwatan. Dalam ruwatan ini wangkring atau tempat untuk meletakkan properti begalan yang berisi peralatan dapur zaman dahulu, dipasangi batang pisang untuk meletakkan wayang. "Pitutur dari guru saya, saya biasa membawa wayang Bethara Guru, Bethara Kala, dan Ki Semar," ujarnya.
Prosesi ruwatan ini tentunya menurut Eyang Wasdan mempunyai syarat. "Jika mempunyai satu anak tunggal perempuan, mempunyai satu anak tunggal laki-laki , mempunyai dua anak laki-laki dan perempuan, mempunyai tiga anak terdiri dari laki-laki perempuan laki-laki, mempunyai tiga anak terdiri dari perempuan laki-laki perempuan, mempunyai lima anak laki-laki, mempunyai dua anak perempuan semua, dan mempunyai dua anak laki-laki semua, semuanya dari orang tua kandung asli," tutur Eyang Wasdan.
Lelaki sepuh yang tidak pernah menolak tawaran setiap ada permintaan dari pemilik hajatan untuk menyelenggarakan tradisi begalan, menceritakan asal muasal begalan secara lengkap dan sesuai dengan sejarah begalan memberikan wejangan kepada calon pemilik hajat pernikahan agar mengadakan tradisi begalan saat menikahkan anaknya. "Ini turun temurun jika akan menikahkan anak harus ada begalan, menikahkan lho ya, tapi sekarang yang diambil hanya anak pertama saja, sebetulnya jika setiap akan menikahkan anak ada begalan, ya saya sepertinya laris terus karena dipakai terus" ujarnya sambil terkekeh.
Disisi lain, menurut Eyang Wasdan setiap kesenian ada pandang hidup dan nilai luhur mengingat tradisi begalan sebagai petunjuk kepada calon pengantin. "Tujuannya agar kedua pengantin selamat dalam mengarungi kehidupan bersama dan juga sebagai sarat tedhak turun banyumas untuk mengadakan pernikahan" kata Eyang Wasdan yang pernah mengenyam penataran refresing begalan sebagai media penyampaian pesan pencegahan nikah usia muda di Kabupaten Banyumas tahun 2012.
Sambil menyeruput segelas teh hangat, Eyang Wasdan berharap dan juga berpesan kepada generasi penerus, terutama penerus kesenian begalan, agar dalam melaksanakan pertunjukan tradisi begalan, hendaknya harus ada guru dan jangan seenaknya sendiri. "Yang penting itu jangan pakai seenaknya sendiri, jangan hanya memfotokopi saja, harus ada gurunya, berilmu tapi tanpa guru juga tidak benar, intinya ilmu dari guru jangan sampai hilang." tegasnya. (Asep)