Lestarikan Kesenian Ebeg Demi Identitas Daerah
14 Januari 2020 - 21:36:00 WIB | Dibaca: 2870x
Purwokerto (SIOGE) - Kesenian Ebeg atau biasa disebut Kuda Lumping saat ini terus mengalami kemajuan yang signifikan. Ini terbukti dari setiap pementasan selalu ada inovasi baru mulai dari segi tari dan musik pengiringnya. Karena tiap daerah memiliki ciri khas tersendiri, seperti di wilayah Banyumas, setiap ada pertunjukan kuda lumping selalu banyak orang yang menonton, bahkan penonton pun ada yang ikut “mendem” atau “njantur” yang berarti kesurupan.
Inovasi yang tersaji dalam pertunjukan kuda lumping ini tentunya tidak lepas dari jerih payah para pelaku seni kuda lumping yang ada di Banyumas. Salah satunya bernama Rama Nadim.
Saat ditemui dikediamannya, Senin (13/1/2020), lelaki berusia 58 tahun itu dengan senang hati mengungkapkan jika dirinya sudah bertahun-tahun menjadi dalang kuda lumping demi melestarikan dan menularkan kesenian kuda lumping kepada generasi muda agar kesenian ini tidak punah ditengah arus globalisasi.
“Ya sudah tahunan mas saya jadi dalang ebeg, saya juga punya grup ebeg yang murni dari segi pemain ebeg, sinden, dan juga pemain music, semuanya campuran ada yang muda dan tua,” kata Rama.
Saat disinggung mengenai banyaknya penonton yang ikut mengalami kesurupan, dirinya mengaku sedikit prihatin. “kalau pribadi ya senang karena mereka memiliki indang ebeg, tapi juga sedikit prihatin karena kesenian ebeg ini bukan hanya sekedar mendem saja, tapi lebih ke olah tari dan juga musik yang mengiringi,” katanya.
Dia mengaku jika ada penonton yang mendem langsung diobati. “kalau ada penonton yang ikut mendem langsung saya obati karena mereka tanpa memakai atribut seni ebeg dan saya pribadi tidak mau kesenian ini dikotori oleh penonton mendem,” lanjutnya. Kuda lumping memang dianggap sebagai kesenian asli dari banyumas jawa, karena murni tidak terpengaruh budaya lain.
Menurut Rama Nadim kalau ada pengaruh dari kesenian lain itu termasuk akulturasi budaya. “kalau ada pengaruh budaya lain ya sudah termasuk akulturasi, seperti halnya calengsai, itu kan dua kebudayaan banyumas dan tiongkok, calung, lengger, dan barongsai, jadinya calengsai,” jelasnya.
Dia berharap kedepannya anak muda sekarang bisa melestarikan budaya, khususnya budaya banyumasan. “Saya berharap kalau anak muda yang ada di Banyumas bisa melestarikan, tidak hanya ebeg saja, tapi semua budaya yang asli Banyumas agar identitas Banyumas tidak hilang,” pungkasnya. (assep)